Bergrilya; Dari Perkantoran Hingga Pelosok Desa
Dua minggu berlalu terasa begitu singkat. Namun di hari-hari yang
telah terlewati, begitu banyak kejadian yang terkadang membuat saya
merenunginya. Untuk menjernihkan pikiran, serta agar aliran darah menjadi
lancar, menurut saya penting artinya untuk berbagi pengalaman kepada pembaca
yang budiman. Oleh karena itu tidak bosan-bosannya saya memaksa jari-jari
tangan saya untuk menari di atas keyboard laptop butut ini. Menari dan mengurai
kisah yang tak ingin saya simpan sendiri dan tak sudi pula kiranya itu akan
terkubur menjadi sebuah rahasia.
Jikalau mata kita dipelototkan menuju judul tulisan ini, dapatlah
kita tersangkut pada sebuah kata, yaitu “bergrilya”. Mungkin mendengar istilah
bergrilya, imajinasi kita langsung meloncat menuju zaman-zaman dimana terjadi
peperangan. Salah satu strategi yang digunakan adalah “perang grilya”. Perang
yang dalam praktiknya menggunakan kelincahan gerakan menyerang musuh secara
membabibuta dan spontan kemudian segera bersembunyi. Inilah yang dilakukan
pejuang bangsa kita pada masa-masa penjajahan dahulu, mengingat keterbatasan
senjata dan pasukan untuk melawan penjajah pada waktu itu.
Namun bukan perang melawan penjajah yang dibahas dalam tulisan
ini, melainkan perang melawan ribetnya birokrasi, macetnya jalan pantura dan
perang melawan diri sendiri yang selalu senang dengan zone nyaman. Bergrilya
yang kami lakukan tujuannya sangat jelas, yaitu untuk mendapatkan data
penelitian.
Saya tahu, terlalu banyak Muqoddimah alias pembukaan akan membuat
anda bosan. Atau mungkin membuat anda mulai lapar. Baiklah, saya akan segera
memulainya, sebelum pandangan anda berkunang-kunang karena kebanyakan kata
pengantar.
**
Sudah dua minggu ini kami berada di Sayung Demak. Kegiatan
penelitian ini memaksa kami harus bergrilya untuk mengumpulkan data yang
berserakan. Baik dengan cara wawancara, observasi maupun menelaah
dokumen-dokumen. Kegiatan wawancara dan observasi kami lakukan di sela-sela
mengurus perizinan penelitian. Namun demikian, untuk studi dokumen masih
mandeg, mengingat dokumen yang akan dipelajari masih entah dimana.
Terus terang, sampai saat ini (selama dua minggu), kami masih
berkutat pada perizinan dan mohon bantuan data di kantor bapak-bapak dan ibu-ibu
yang konon katanya “terhormat”. Untuk tujuan itu, kami harus rela mondar-mandir
di jalur Pantura (Pantai Utara). Bisa dibayangkan, dengan kondisi jalanan yang
ramai dengan kendaraan-kendaraan raksasa semacam truk gandeng, tronton,
kontainer, bus-bus dan kendaraan pribadi yang berlalu lalang. Sewaktu-waktu,
jika konsentrasi mengendarai speda motor memudar, maka ada kemungkinan anda
akan “dicium” oleh bemper Truk Tronton. Disamping laju kendaraan yang ramai dan
terkadang macet, disemarakkan dengan panas terik matahari yang menyengat kulit.
Debu-debu yang berterabangan mengganggu pandangan, bau limbah cair
pabrik-pabrik sepanjang jalur Pantura juga menambah eksotis suasana.
Pernah suatu ketika, kami harus bolak-balik sebanyak tiga kali
tanpa istirahat dari kontrakan menuju kota Demak. Waktu yang diperlukan untuk
menempuh rute itu adalah 30 menit. Berarti sekitar 180 menit (3 jam) kami
habiskan hanya untuk menikmati jalur Pantura. Tidak terlalu lama memang, namun
cukup menguras tenaga ketika perjalanan di siang hari saat matahari lagi
lapar-laparnya.
Tragedi bolak-balik itu sebenarnya akibat ketoledoran kami.
Setelah sampai di kantor Kesbangpol, kami hanya membawa surat izin dari kampus.
Padahal salah satu persyaratannya adalah menyerahkan proposal penelitian.
Terpaksa, kami harus kembali ke kontrakan dan mengambil proposal yang kami kira
telah siap sedia. Namun ternyata, tertinggal di Solo. Terpaksa harus nge-print
file yang syukur saja masih ada di laptop. Setelah kembali ke kota Demak dan
cukup lama mencari, terdamparlah kami pada sebuah kedai pengisian pulsa. Dan
ternyata di sana juga menyediakan jasa pengetikan termasuk print out. Itulah
yang kami butuhkan saat itu. Dua proposal pun sudah berwujud lembaran-lembaran
yang siap untuk dijilid. Dan sialnya lagi, lembar pengesahan yang telah
ditandatangani dosen pembimbing tertinggal di kontrakan. Jelas, harus
menelusuri Pantura lagi untuk mengambilnya.
Panasnya jalanan di jalur pantura, seiring sejalan dengan tidak
efektifnya orang-orang kantor instansi dalam bekerja. Pekerjaan yang seharusnya
selesai dalam beberapa menit saja harus ditunda-tunda sampai batas waktu yang
tidak jelas. Ada beberapa pengalaman untuk yang satu ini. Sehingga ini cukup
menyebalkan bagi kami.
Pertama, ketika kami memasukkan
surat izin sekaligus mohon bantuan data di kantor Dinas Kelautan dan Perikanan.
Surat itu kami masukkan pada hari selasa minggu lalu. Ternyata, kami diminta
datang lagi pada hari jumat. Hal ini lantaran kepala dinasnya sedang berada di
luar kota. Kami mengalah. Setelah memenuhi permintaan untuk datang hari jumat,
kami diminta lagi datang hari senin. Alasannya, mereka akan pergi ke lapangan.
Entah lapangan basket atau lapangan sepak bola. Dan sampai detik ini kami belum
menindak lanjutinya lagi, mengingat kami disibukkan dengan grilya ke desa-desa. Kedua, ketika
berkunjung ke salah satu desa yang akan menjadi lokasi penelitian kami, yaitu
desa Sriwulan. Salah seorang staf yang diminta melayani kami untuk keperluan
data harus menunda memberikan datanya, sehingga kami harus berkunjung lagi ke
kantor desa itu. Tidak efektifnya pelayanan menurut saya terletak pada
penghambur-hamburan waktu untuk keperluan yang kurang begitu penting. Hanya
untuk memberikan kami data monografi desa, harus menunggu dua sampai tiga hari
kedepan. Alasannya, akan ada kunjungan tamu penting. Ia harus menyiapkan segala
sesuatunya. Namun yang kami tidak habis pikir, ketika melayani kami, bukannya
informasi yang kami butuhkan yang dibahasnya, melainkan curhat tentang
keluarganya. Tidak hanya curhat dengan masalah keluarga, ditambah lagi ia
menceramahi kami, layaknya menceramahi “anak baru gede”. Bicara yang tidak
substansial itu berlangsung hampir 25 menit. Sangatlah cukup untuk mengambil
draf data monografi desa dan meminta kami memfotocopynya. Entahlah.
Tidak saja sampai disitu, kami merasakan sulit sekali mendapatkan
data. Ini dikarenakan kemungkinan rendahnya kesadaran mereka akan pentingnya
data. Mengutip kata kepala arsip daerah “mungkin instansi-instansi ini belum
sadar betul arti pentingnya data sehingga menunggu bencana dulu baru merasa.
Kepala arsip daerah kabupaten demak mengeluhkan data yang tak kunjung masuk
dari berbagai instansi pemerintah lainnya. Padahal telah beberapa kali
menyebarkan surat edaran untuk itu. Dalam undang-undangpun sudah diatur sangat
jelas mengenai kearsipan ini. Namun banyak yang “mbalelo” dalam hal ini.
Meskipun tidak semua instansi bigutu, kami merasakan betul kemiskinan data di
kabupaten demak ini. Kami selalu pulang dengan tangan hampa. Jika tidak bisa
melayani kami hari itu, alasannya adalah tidak adanya data. Hal yang menurut
saya sangat aneh, padahal semua itu dikelola oleh orang-orang berpendidikan.
Bosan dengan urusan di kantor-kantor, kami menghilangkan penat
dengan bergrilya di pelosok-pelosok desa. Mulai dari ujung barat bagian utara
sampai ujung timur bagian utara. Untuk diketahui, Kami meneliti empat desa yang
kesemuanya itu termasuk dalam Kecamatan Sayung dan berbatasan langsung dengan
laut. Desa itu adalah Desa Sriwulan, Bedono, Timbulsloko, dan Surodadi.
Berdasarkan informasi yang kami dapatkan, baik melalui media, warga, maupun
peta, keempat desa tersebut merupakan desa yang paling parah tingkat abrasi dan
banjir pasang air lautnya (rob). Inilah yang menarik perhatian kami ke ujung
utara desa-desa ini.
Di sebelah barat adalah desa Sriwulan yang berbatasan langsung
dengan Kota Semarang. Di bagian ujung utara desa ini yang berbatasan langsung
dengan laut terdapat beberapa kenampakan. Ternyata abrasi telah meluluh
lantakkan beberapa rumah warga dan memaksa mereka untuk berpindah tempat tinggal.
Bisa dikatakan rumah-rumah itu hancur tak berbentuk rumah lagi. Meskipun ada
beberapa rumah yang masih terlihat dengan tembok dan atapnya, namun sudah tidak
berpenghuni. Mengingat lantai rumah itu selalu tergenang air laut. seperti
perkamupungan yang mati. Begitu sepi. Mendengar cerita-cerita warga pun kami
menjadi tercengang. Dimana dulunya di kampung itu begitu subur lahan sawahnya.
Namun semua itu saat ini telah sirna. Sawah-sawah telah berubah menjadi lahan
tambak. Dan lahan tambakpun terancam keberadaannya ketika pasang air laut
terjadi. Pada waktunya semua akan tenggelam.
Desa Bedono pun menyimpan cerita yang tak kalah memprihatinkannya.
Telah terjadi relokasi warga di Dusun Tambak Sari dan Rejosari Senik, mengingat
kampung mereka telah berubah menjadi sarang air laut. Terutama di kampung
Senik. Dulunya dihuni oleh 206 kepala keluarga, dan saat ini mereka telah
dipindahkan untuk tujuan keselamatan. Sementara di dusun Tambak Sari sekitar 6
kepala keluarga masih bertahan di sana. Kampung mereka yang berupa lahan
mangrove yang becek di tengah laut sana tetap mereka huni. Alasanya, disanalah
tempat kelahiran mereka dan semestinya disana pula ia akan menghabiskan sisa
hidupnya. Padahal dulunya kampung mangrove itu dihuni oleh 65 kepala keluarga.
Beralasan memang, selain alasan tempat kelahiran dan tempat mencari
penghidupan, diujung utara pulau mangrove ini juga terdapat makam Syaikh Zakir
yang mereka jaga. Makam itu adalah makam salah satu tokoh agama terkemuka dan
masih satu darah dengan warga di Dusun Tambak Sari.
Lain cerita dengan di Desa Surodadi dan Timbulsloko yang sudah
memiliki pemecah gelombang sebagai penangkal abrasi maupun banjir. Mekipun
demikian, beberapa rumah masih berptensi tergenang, karena tidak semua mampu
dihalau oleh pemecah gelombang. Kami sempat berkunjung ke dua desa itu. Kami
juga sempat sampai pada ujung jalan buntu. Di ujung jalan itu terdapat
pangkalan perahu yang biasa digunakan melaut oleh warga setempat. Tepat
ditengah hutan mangrove dengan sungai yang terlihat mulai mengering,
perahu-perahu tergeletak begitu saja. Tak ada aktivitas nelayan disana. Seperti
sengaja ditinggal dan menunggu air pasang agar dapat menggerakkan perahu-perahu
tersebut. Ini wajar karena ini musim kemarau. Sehingga debit air sungai agak
berkurang. Kami juga sempat bercengkrama dengan anak-anak kecil yang sedang
bermain dipinggiran pantai dengan wajah-wajah polos mereka. Mereka terlihat
seperti tanpa beban di tengah-tengah bencana yang mereka hadapi.
Begitu banyak kisah yang bisa diurai dari perjalanan ini. Namun,
tak mampulah diceritakan secara detil semua itu disini. Saya yakin betul dengan
ungkapan “Pengalaman adalah guru yang terbaik”. Saya selalu merenung dengan apa
yang pernah saya alami. Selalu kita diajarkan hal-hal yang luar biasa dari apa
yang pernah kita lakukan. Saya selalu menganggap itu sebagai suatu cerita yang
menarik. Bukan sebuah keluhan, melainkan pengalaman yang harus diambil
hikmahnya. Disyukuri, dan harus dibagi. Semoga saja menginspirasi.
Salam,
***
Demak, 1 Oktober 2013
--Hasrul Hadi--
Komentar
Posting Komentar