Pelajaran Berharga dari Seorang Bapak
Saya
baru sempat menuliskannya sekarang. Sebenarnya usai ngobrol santai itu, saya
ingin sekali menuliskannya. Meski terlambat, namun setidaknya saya masih ingat
betul apa yang diceritakannya.
Pagi
itu, saya sedang berada di kamar kost. Saya biasanya melakukan bersih-bersih
kamar sebelum melanjutkan aktivitas lain yang sifatnya akademis.
Untuk
menghilangkan pengapnya kamar saya membuka pintu dan jendela. Udara pagi
ditambah hangatnya mentari di pagi itu cukup menambah semangat. Di luar sana,
tepat di sebelah kanan jendela saya terdapat keran air yang biasa kami
manfaatkan airnya untuk mencuci pakaian, berwudhu, cuci tangan dan aktifitas
bersih diri lainnya. Terlihat seorang bapak tua yang sedang mencuci pakaiannya.
Dengan posisi duduk dengan bak berisi rendaman pakaian di depannya dan
dikuceknya perlahan.
Perlu
diketahui, ia adalah pedagang martabak yang juga satu kost dengan saya.
Kamarnya kebetulan berdekatan dengan kamar saya. Ia tinggal sendirian saja di
kamar itu. Namun, kebanyakan hanya singgah sebentar lalu pergi, mengingat ia
juga memiliki kontrakan lain tidak jauh dari kost yang dihuni bersama istri dan
seorang anaknya yang masih kecil.
Sambil
mencuci ia mulai membuka pembicaraan ringan dengan menyapa dan berbasa basi.
Saya pun menimpali dengan baik. Sampai pada akhirnya ia mulai bercerita tentang
keluarganya, terutama mengenai anak-anaknya. Ia mempunyai empat orang anak.
Anak pertama dan ke dua perempuan, sementara anak ke tiga dan keempat adalah
laki-laki. Anak pertamanya sudah menikah, anak kedua masih kuliah semester
lima, anak ke tiga masih sekolah di SMP dan anak ke empat masih duduk di bangku
SD.
Ia
menceritakan nasib anak pertamanya yang kurang beruntung dalam kehidupan rumah
tangganya. Sebelum menikah, sang bapak berpesan agar anaknya benar-benar
memanfaatkan waktunya untuk belajar. Bahkan setamat sekolah SMA sang bapak
sanggup menguliahkannya, asal belajar dengan baik. Selama sekolah, ia pernah
dilihat dibawa oleh seorang pemuda yang kelihatannya bukan pemuda baik-baik.
Ancamanpun di berikan ke putri pertamanya itu. Ia tegaskan bahwa anak gadisnya
itu boleh memilih, serius belajar atau menikah saja jika tidak serus sekolah.
Namun si anak minta untuk tetap sekolah.
Namun
sayang seribu sayang, kejadian memalukan menimpanya. Anaknya dihamili oleh
seorang kernet bus antar propinsi yang berasal dari salah satu daerah di jawa
barat. Singkat cerita, anaknya itu terpaksa dinikahkan dengan kernet itu.
Untung
tak dapat diraih, malang tak bisa dibendung. Putri pertama sang bapak mengalami
penderitaan dalam menjalani kehidupan pernikahannya. Suaminya tidak bertanggung
jawab dalam menafkahinya. Setelah usut punya usut suaminya itu hanya mencari
uang untuk orang tuanya yang kondisinya sangat miskin. Mereka tinggal di
terminal, ayahnya menjual rokok keliling sementara ibunya tidak bekerja
apa-apa. Namun bukan itu yang disesalkan, disamping uang untuk orang tuanya,
uangnya juga habis di meja judi dan untuk membeli minuman keras.
Tidak
saja sampai di situ, suatu ketika putri pertama sang bapak mengalami kecelakaan
sehingga ia harus dirawat inap di rumah sakit. Tak sesen pun ia dibantu oleh
suaminya dalam biaya berobat itu. Sang bapak harus rela membiayai anaknya meski
anaknya telah bergantung pada tanggung jawab sang suami. Suaminya bahkan jarang
muncul untuk menemani istrinya disaat ia sakit.
Sang
bapak akhirnya memanggil menantunya yang tidak bertanggung jawab itu. Ia
membicarakan bahwa semestinya menantunya itu lebih bertanggung jawab.
Seandainya pun ia kesulitan dalam mencari rezeki, sang bapak siap membantu.
Pernah suatu ketika sang bapak memberikan kepercayaan kepada anak menantunya
itu untuk menjual tong gas elpiji sepulangnya bekerja sebagai kernet bus.
Namun, tak berjalan mulus mengingat tidak dikerjakan dengan serius dan tekun.
Sebenarnya
berbagai upaya telah dilakukan sang bapak untuk membantu perekonomian anaknya.
Namun karena tidak pernah berjalan dengan baik akhirnya sang bapak tak tahu
harus bagaimana dan berbuat apa.
Lain
cerita lagi dengan anaknya yang kedua. Meskipun memiliki keterbatasan, namun
setidaknya dapat membuat sang bapak tidak kecewa. Bagaimana tidak, anaknya itu
mengalami keterbatasan berupa sering lupa. Kadang-kadang bapaknya sendiri
dipanggil om, mas atau pak dhe. Ketika ditanya mengenai sesuatu biasanya si
anak akan lama menemukan jawaban dari pertanyaan sederhana sekalipun. Namun
sang bapak cukup bersyukur karena anak ke duanya itu rajin bersekolah.
Rasa
mengganjal di hati sang bapak ternyata juga datang dari tingkah polah anak ke
tiganya. Karena pergaulannya yang tak terkontrol pernah anaknya itu terjerumus
menjadi bagian dari komunitas Punk. Nongkrong tak jelas, ngamen di jalanan dan
melakukan berbagai kegiatan tak bermanfaat lainnya. Sehingga suatu hari sang
bapak mengancam anaknya itu. Ia mengatakan meskipun usia sudah tak muda lagi,
tapi ia masih punya tenaga untuk membuat anak laki-lakinya itu babak belur jika
tidak mengubah tingkah lakunya. Syukurnya anaknya itu nurut dan tak lagi
bergabung dengan komunitas Punk, meskipun sifat nakalnya masih tetap ada.
Anaknya
yang paling kecil saat ini masih bersekolah di salah satu SD di Surakarta.
Tidak banyak yang diceritakan mengenai anaknya yang satu ini. Namun setahu
saya, anak itu tidaklah terlalu nakal, relatif sama dengan anak-anak seusianya
yang nakalnya masih dalam taraf yang wajar.
Ceritanya
pun berakhir seiring dengan berakhirnya bilasan cucian yang terakhir. Saya
hanya menyimak dan sesekali mengangguk serta bertanya dan menanggapi ceritanya.
Saya
salut dengan perjuangan bapak ini dalam menghidupi keluarganya. Ia rela
begadang berjualan martabak demi anak dan istrinya. Yang saya salutkan juga
adalah ketaatannya dalam beribadah, terutama shalat berjamaah. Hampir setiap
waktu shalat ia laksanakan secara berjamaah di masjid di dekat kost. Biasanya
meskipun sibuk berjualan martabak, ia akan menghentikan aktivitasnya itu ketika
adzan berkumandang. Dengan demikian para pelanggannya juga harus sabar menunggu
hingga ia selesai melakukan shalat berjamaah di masjid. Biasanya ia akan
meninggalkan gerobak martabaknya dan menempelkan tulisan di depannya yang
bertuliskan “maaf sedang shalat”. Subhanallah, sungguh jarang saya menemukan
orang seperti ini di saat-saat ini dengan hiruk pikuk kesibukan orang-orang
mengejar dunia karena tuntutan ekonomi.
Bapak
ini juga saya kenal sebagai orang yang ramah dan murah senyum. Dalam
berkomunikasi biasanya ia tersenyum dan berbicara sopan. Selain itu ia juga
memiliki sifat yang bertanggung jawab. Pada bulan Ramadhan yang telah lewat,
kebetulan saya tidak pulang ke Lombok. Jadi, kegiatan berpuasa dan ibadah
lainnya saya lakukan di tanah Solo ini. Kami yang tidak pulang kebagian jadwal
untuk ceramah setelah shalat subuh, termasuk si bapak ini. Meskipun ia tidak
tamat sekolah SD tapi ia benar-benar bertanggung jawab dengan amanah yang diberikan
kepadanya. Menurut ceritanya, ia hanya sampai kelas tiga SD, setelah itu putus
sekolah karena memilih untuk membantu keluarga menambah penghasilan. Meski
demikian, syukurnya ia masih bisa membaca. Ia meminta saya untuk membuatkannya
muqaddimah atau pembukaan ceramahnya. Saya pun menuliskannya di selembar kertas
dan kemudian dibacanya ketika melakukan ceramah itu. Ia menyampaikan ceramahnya
dengan bersemangat, meskipun tidak ada latar belakangnya sebagai penceramah,
atau berbicara di depan umum.
Ia
juga sering menjadi imam di masjid ketika shalat berjamaah. Meskipun
kadang-kadang lupa lanjutan ayat yang dibacanya. Sepengetahuan saya, ia
biasanya mendengarkan lantunan ayat-ayat suci alqur’an dari radionya ketika ia
sedang melayani pelanggannya ketika berjualan martabak. Kemungkinan menghafal
ayat-ayat itu dilakukan dengan mendengarkan dari radio itu.
Saya
benar-benar berpikir dan mendapat pelajaran dari kehidupan sang bapak. Saya
belajar bagaimana nantinya ketika menjadi seorang bapak. Belajar bagaimana
bertanggung jawab atas amanah yang diberikan. Belajar dari beberapa cerita
kegagalannya dalam mendidik anak-anaknya. Belajar untuk istiqomah dalam
beribadah dan berbuat kebaikan. Serta belajar bagaimana menghadapi berbagai
macam cobaan yang hadir dalam kehidupan. Terus terang saya benar-benar belajar
dari itu semua.
Surakarta,
23 November 2013
--Hasrul Hadi--
Komentar
Posting Komentar